Seperti halnya pada manusia, hewan juga memiliki hormon. Pada hewan
vertebrata mayoritas jenis hormonnya mirip dengan manusia. Sedangkan
pada hewan tingkat rendah dan invertebrata sistem hormonnya berkaitan
terutama dengan fungsi kelangsungan hidup, misalnya pertumbuhan,
pendewasaan, dan reproduksi.
Hormon pada hewan InvertebrataPada Coelenterata (hewan berongga) misalnya
Hydra, sel sarafnya menghasilkan bahan kimia yang disebut
neuropeptida. Bahan tersebut merangsang terjadinya pertumbuhan, regenerasi, dan reproduksi.
Pada Arthropoda dari kelompok insekta menghasilkan tiga macam hormon yaitu: hormon otak, hormon ekdison, dan
hormon juvenil. Ketiga hormon tersebut berfungsi untuk mengatur proses metamorfosis.
- Hormon otak disekresikan oleh bagian otak, dan pelepasannya
dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Selain itu hormon
otak berfungsi memicu sekresi hormon ekdison dan hormon juvenil.
- Hormon ekdison perfungsi pada pengaturan proses pergantian kulit (ekdisis).
- Hormon juvenil berperan menghambat proses metamorfosis.
Ketiga hormon itulah yang berperan dalam proses metamorfosis dan pergantian kulit pada kelompok insekta
Sedangkan pada
Crustaseae (udang, kepiting, dll) ada 2
faktor yang mempengaruhi pergantian kulit yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal diantaranya: adanya stressor/tekanan
lingkungan, nutrisi, photoperiodisme dan temperatur. Sedangkan faktor
internal terkait dengan produksi hormon
ekdisteroid dan
Molt Inhibiting Hormon (MIH)/hormon penghambat pergantian kulit.
Hormon pada hewan VertebrataPada
katak misalnya, metamorfosis dari berudu menjadi katak dewasa
dipengaruhi oleh hormon tiroksin yang dihasilkan oleh kelenjar thiroid.
Selain itu katak memiliki hormon yang disekresikan oleh epifisis dan
hipofisis di otak, dan berperan dalam mengontrol perubahan warna kulit.
Hormon epifisis menyebabkan kulit menjadi pucat, sedangkan hormon
hipofisis menyebabkan warna kulit menjadi gelap.
Pada vertebrata lain sistem hormonnya mirip dengan manusia.
FeromonBeberapa jenis hewan selain menghasilkan hormon juga menghasilkan
bahan kimia yang disebut feromon. Bahan ini tidak berpengaruh langsung
terhadap hewan yang bersangkutan, melainkan berpengaruh terhadap hewan
lain yang satu spesies. Feromon yang disekresikan ini umumnya berfungsi
menarik lawan jenis untuk melakukan proses reproduksi.
Misalnya saja pada ulat sutera (Bombyx mori), kupu betina
mengeluarkan feromon untuk menarik ngengat jantan guna melakukan
reproduksi.
Pada kupu-kupu jantan atau betina akan menyebarkan feromon saat
mengepakkan sayapnya, sehingga feromon tersebar diudara dan mengundang
lawan jenisnya untuk mendekat dan tertarik secara seksual. Feromon seks
memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas reproduksi dimana jantan
atau betina dari spesies yang lain tidak akan tertarik dan merespons
terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang
berbeda.
Pada rayap, untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu
rayap yang berada didepan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail
following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di
bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang
berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya
dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.
Jenis feromon lain adalah yang digunakan ngengat sebagai undangan
untuk melakukan perkawinan. Ngengat gipsi betina dapat mempengaruhi
ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon
yang disebut “disparlur”. Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa
ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu
mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah
yang sangat besar sekalipun.
Feromon tampaknya juga memainkan peran penting dalam komunikasi
serangga selain masalah reproduksi. Semut menggunakan feromon sebagai
penjejak (tracer) untuk menunjukkan jalan kepada semut lain untuk menuju
ke sumber makanan.
Contoh
lain, bila lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada
kulit korbannya, tetapi juga meninggalkan feromon yang menyebabkan
panggilan otomatis terhadap lebah madu lain untuk menyerang. Inilah yang
menyebabkan kenapa lebah suka main keroyok.
Demikian pula, semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon
sebagai zat tanda bahaya yang digunakan ketika terancam musuh. Feromon
disebar di udara dan menyebabkan berkumpulnya semut pekerja yang lain.
Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga akan mengubah jumlah
produksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang,
bergantung pada kondisi bahayanya.